Ketika ada orang yang menyebut Bandung, mataku melirik cepat.
Siapapun dia, aku ingin ikut terlibat dalam percakapannya.
Tapi, tahukah kamu? Ternyata, yang aku ingat dari Bandung bukan momen-momen penting – seperti ketika aku dinyatakan lulus ujian skripsi, atau mungkin hari wisuda.
Ternyata tidak.
Ketika mendengar Bandung, pikiranku terlempar kembali di saat-saat aku kehujanan dan lari terbirit-birit ke kosan. Ketika aku masuk ke lobi kos dan menghirup napas dalam-dalam. Tahu – bahwa akhirnya aku aman.
Aku ingat malam-malam gelap dimana aku harus berjalan kaki pulang, melewati taman Fisip, tangga aborsi, sampai pohon beringin yang (katanya) angker. Jantung berdegup kencang, seringkali aku nyanyi keras-keras untuk mengalahkan nyali yang ciut. Kadang, aku sengaja mengingat-ingat materi kuliah yang baru didapat. Apapun aku lakukan, asal bisa mendistraksi pikiran.
Aku ingat kehangatan soto lamongan yang letaknya hanya selemparan batu dari kos. Saat kelaparan melanda, aku hanya perlu mengambil sandal jepit terdekat dan jaket biru andalan. Aku pernah menghabiskan waktu 2 jam hanya untuk makan soto dan ngobrol dengan teman-teman terdekat. Saat itu aku berpikir pada diriku sendiri “I’m gonna take a mental picture to remember this moment.” Dan ternyata, it works! I still remember every minute of it!
Ketika mendengar Bandung, tidak pernah sekalipun terbersit tentang Gedung Sate ataupun landmark keren lainnya. Yang aku ingat adalah pemandangan kota dari sudut jendela kamar. Saat itu – apartemen tinggi belum dibangun – aku bisa melihat ratusan rumah dengan leluasa, ketika warna langit mulai berganti. Dengan hp blackberry bapuk, aku sering mengambil foto-foto matahari terbenam. Karena aku tahu, someday I’m gonna miss it.
Aku ingat jendela besar yang ada di kamar. Ketika hujan tiba, aku cepat-cepat membuka jendela. Karena aku ingin menghirup aroma petrichor berlama-lama. Aku ingat menyandarkan kepala di bantal dan melamun melihat pemandangan di luar jendela. Aku ingat memakai jaket berlapis-lapis ketika harus menyelesaikan tugas hingga subuh. Iya, aku lebih memilih kedinginan dibandingkan menutup jendela dari angin yang berhembus lembut.
Besoknya, aku masuk angin.
Still worth it.
Kalau boleh jujur, aku cuma ingat 5% dari ajaran yang aku dapatkan di kelas. Tapi, semua yang terjadi di luar kelas: begadang menjadi panitia, rapat dengan puluhan mahasiswa lain, mengadakan acara sendiri, semuanya masih terpaku jelas. Benar memang, pelajaran terbaik didapat dari luar kelas.
Ketika mendengar Bandung, aku ingat kebebasan waktu yang kugunakan seenak udel. Bangun jam 1 siang, masuk kelas, tidur siang, begadang tanpa tidur, pergi liburan tanpa basa basi, bolos kelas ketika ingin. Aku bisa pergi kemanapun yang aku mau – tak perlu surat cuti, tak perlu tanda tangan atasan, tak perlu mengaktifkan automatic reply pada email.
Semuanya adalah hal-hal indah yang aku ingat, setiap kali aku mendengar kata Bandung diucap. Semuanya membuatku sadar, sebenarnya dalam hidup, kita tidak pernah mengingat momen-momen besar.
It’s those small tiny things that matter the most.