Aku menghabiskan berjam-jam setiap harinya dengan Sir Davos. Nama yang aku berikan untuk si laptop abu-abu 14 inci.
Kalau kamu menemuiku, di sudut coffee shop, di airport, ataupun ketika bersantai di kos, sudah hampir pasti, ada Sir Davos dalam genggaman.
Kalau dipikir-pikir, jika ada 15 jam sehari yang kuhabiskan dengan terjaga, 12 jam di antaranya pasti melekat dengan laptop ini.
Untuk bekerja, tentu saja.
Namun bahkan setelah itu, aku mengandalkannya untuk menulis, merekam jejak kisah digital, hingga menyaksikan acara hiburan kesukaan.
Ketagihan.
Aku tahu.
Kadang aku terlelap dengan mata yang berair, menahan kantuk dan pedas karena terlalu lama terpapar cahaya artifisial.
Bahkan setelah itu, aku tak kapok.
Aku mengalihkan pandangan pada Oliver, si ponsel cerdik berukuran 6 inci.
Masih kuhabiskan menit demi menit, memutar media sosial yang tak ada habisnya.
Who have I become?
Ini bukan aku yang sebenarnya.
Aku yang sebenarnya, menyukai buku lebih dari apapun. Setiap lembarnya menorehkan cerita manis yang menghanyutkan.
Aku yang sebenarnya, hobi tertidur dengan mata yang lelah karena membaca terlalu banyak kata.
Aku yang sebenarnya, menikmati mimpi setiap malam karena mimpiku jadi refleksi jalan cerita yang baru saja aku baca.
Ini salah teknologi, atau aku?
Ini saatnya kembali pada rangkaian kata-kata penuh makna. Saatnya membereskan lemari buku yang mulai berdebu, dengan lembar yang mulai lapuk.
Saatnya mulai menyentuh tumpukan buku baru yang bahkan belum dibuka dari plastiknya.
Sepertinya ini saatnya, menutup laptop lebih awal, mematikan ponsel pintar, dan kembali menghadapi kesunyian dengan buku kesukaan.
Jakarta, 19 Maret 2018
PS: Kangen Tumblr!