[vc_row css_animation=”” row_type=”row” use_row_as_full_screen_section=”no” type=”full_width” angled_section=”no” text_align=”left” background_image_as_pattern=”without_pattern”][vc_column][vc_column_text]Dear Jakarta, mari kita berkata jujur satu sama lain.
Aku dan kamu tidak diciptakan untuk bersatu.
Jujur saja, aku tak suka-suka amat padamu.
Kau pun begitu.
Iya, aku betah melihat gedung pencakar langit di malam hari.
Ketika jalanan sepi dan tak ada suara berisik seperti biasanya.
Di saat-saat seperti itu, mendongak melihat langit malam yang ternoda polusi.
Aku berkata pada universa, “Terima kasih mengijinkanku tinggal di ibu kota.”
Tapi sudah, itu saja.
Dear Jakarta, kamu terasa seperti selingkuhan.
Aku seperti berdusta pada Bandung karena berpindah tinggal.
Padahal hatiku masih tertinggal di kota kecil Parahyangan.
Kamu seperti selingkuhan yang lebih molek, lebih kaya, lebih berharta.
Lalu aku terpaksa tinggal denganmu karena tuntutan hidup.
Padahal, jika boleh memilih, aku ingin kembali menghirup udara segar dan mendengar sapaan Sunda.
Untungnya kamu adalah ember penyatu manusia.
Kata orang – melting pot.
Padamu aku bertemu dengan puluhan teman baru dari berbagai usia.
Orang-orang dengan pikiran terbuka, yang mengajarkanku tentang banyak hal, dari investasi sampai misteri universa.
Dari orang Tegal sampai Papua, dari supir angkot hingga jutawan muda.
Semuanya menyatu, teraduk dalam pesonamu.
Dan hanya karena itu – kesempatan bertemu orang baru – yang membuatku betah.
Sungguh.
Bahkan konser gemerlap dan ratusan kafe pretensiusmu,
Tak cukup membuatku ingin menetap.
Dear Jakarta, mari kita berhenti berpura-pura.
Aku tak akan tinggal di sini selamanya.
Kamu bukan rumah. Mungkin tak akan pernah.
Kamu hanyalah tempat singgah.
Jakarta, 21 March 2019
FN
[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]