Hey, ini kok berdebu begini blognya. Eleuh-eleuh, seperti biasa. Falen dan penyakit ketidakkonsistennya. Padahal di meja belajar udah dituliskeun, “Write once a week”. Tapi tetaplah jadinya begini.
But here we go, (hopefully not) the last post on the year of 2019. Aku baru aja pulang dari pesta akhir tahun di kantor. Momen-momen tanggal 20-an Desember adalah momen penuh melankoli buat semua orang. Sepertinya yaaa, karena ini memang momen dimana kita melihat kembali ke belakang. And I, for one, am just amazed on how much your world can change in a year.
Ceritanya, akhir tahun lalu aku menekadkan diri untuk mengejar beasiswa-beasiswa untuk melanjutkan studi S2. I applied for at least 5 scholarships at the same time: Chevening, New Zealand Scholarship, Swedish Institute, Belgium, dan LPDP (seperti jutaan anak muda Indonesia lainnya). It was – how to say it gently – A FRIGGING ROLLER COASTER!
But long story short, I got a New Zealand Scholarship for Master of Public Policy in University of Auckland. Yeah, will tell you the complete story on the scholarship-hunting journey later. I will be leaving soon, on February.
Rasanya masih nggak percaya aja sih. Tahun ini udah mengejar lusinan surat rekomendasi, membuat esai, mondar-mandir kesana sini untuk ngurus dokumen resmi, begadang buat riset kuliah, latihan wawancara sampe capek, dan segala dag-dig-duer ketika nunggu pengumuman beasiswa. But at the end, it’s all worth it.
Pulang dari year-end party, rasanya sangat sangat content. Content itu apa ya, gak ada bahasa Indonesia. Bukan sekedar seneng atau bahagia sih. Tapi semacam kayak: seneng, merasa cukup, merasa bersyukur dengan keadaan diri yang sekarang.
Setahun ini udah boleh mencicipi rasanya jadi manager muda. Yaa walaupun tingkah masih kayak Mandra, tapi seneng bisa menanggung responsibility yang lebih besar dan bisa lebih deket dengan klien-klien. Seneng karena tahun ini bisa kenalan dengan temen-temen baru, belajar banyak hal, berkeliling kesana-sini menghabiskan avtur pesawat dan menabung pengalaman buat diketawain di masa tua.
I keep counting down to the day of my departure. Oh man, I feel sick just to think about it. Rasanya seneng, tapi super sedih di saat yang sama. Just when I got everything right, semuanya bakal malah berubah. Harus membiasakan untuk belajar di kelas lagi, baca jurnal, bikin paper, kenalan dengan orang-orang baru di negeri orang. Scary, isn’t it? But also, exciting at the same time.
I never realize how your world can change in a year. Mungkin itu kenapa orang-orang bilang, “the day is short, but the year is long“. Kita tuh kalau lagi menjalani hari-hari biasa, rasanya sih kerasa cepet banget. Tiba-tiba weekend lagi, tiba-tiba gajian lagi, tiba-tiba les spanyol lagi. Gitu aja terus sampe gak kerasa tahun 2019 udah mau bubar.
But only when we look back, that’s when we see how much everything changes. And for better for worse, I just need to believe that everything is there to teach me a lesson.
Semenjak lulus SMA, kayaknya waktu berlalu cepet banget. Serius! Kadang-kadang takut sendiri, gimana kalau aku belum memaksimalkan umur-umur muda ini? Gimana kalau aku miss out? Gimana kalau aku salah langkah terus hidupku jadi berantakan? Mungkin itu kenapa aku jadi control-freak dan over-planner.
Iya, bahkan aku udah punya bucket list dan ide bisnis buat 25 tahun ke depan. Poco loco, huh?
But, somewhere along the road, there’s always something that reminds me to take a deep breath and enjoy what I have right now. Hal-hal kecil, kayak mandi air hangat setelah capek-capeknya kerja, makan makaroni sambil asyik nonton Netflix, atau pas lagi ngelamun di kafe, tiba-tiba tersenyum sendiri. “Oh hey, my self, you’ve done good so far. Take a rest.“
Tonight is one of those moments. When the year-end party was taking place, I was 100% there. I was trying to remember all the details, because I know it’s gonna be my last one. And when you know it’s gonna be the last time, you start paying attention to everything.
It’s not only the party, it’s also my daily lives here. I’m trying to save up the memories of eating a sambal matah, laughing with my colleagues, buying street food for IDR 5k, paying someone to do your room clean-up, the messy sky over Jakarta, the heat, the routine. Everything.
You want to take it all in.
Before you no longer can.