Perutku meraung-raung lapar. Hari masih jam 10 kurang, tapi kita sudah terbirit-birit mengejar travel yang akan berangkat, pulang ke ibukota. Berkat teknologi dan ojek hijau, akhirnya kamu sampai tepat waktu.
Angin Bandung masih meniup lembut, membuatku tersenyum-senyum kecil di Jalan Dipati Ukur. Cepat, kamu mengajakku mencari sesuap makan pagi. Tengok ke kiri dan ke kanan, tapi sepertinya kita sudah kesiangan. Pedagang gerobak sudah tertawa lebar karena dagangan yang laris manis, aku sampai tak kebagian.
Untungnya ada gerobak nasi kuning dan bubur. Ahhh.., sudah lama tidak memakan nasi kuning. Setiap beberapa detik aku melihat jam tangan, tidak lucu kalau enak-enak makan tiba-tiba ditinggal. Sang ibu yang sudah tua terburu-buru menyiapkan piring berisi setangkup nasi yang masih hangat, lalu – seperti biasa – bihun goreng kesukaan. Tempe orek, kerupuk, telur, dan sesendok sambal merah yang – dari penampilannya saja – aku tahu akan jadi topping paripurna.
Kita duduk di bangku plastik yang sudah usang, sembari bercerita. Ketika makanan datang, ibu tidak lupa menyiapkan gelas-gelas berisi teh hangat. Aku sejenak lupa, ternyata masih ada yang gratis di dunia ini: teh tawar di Bandung.
Aku ingin mengabadikan momen itu, sepiring nasi kuning, bangku plastik, teh hangat, dan kamu. Sebelum kita kembali ke Jakarta, sebelum kita kembali ke dunia nyata, aku ingin mengabadikan momen itu.
Karena jarum jam yang sudah terlalu mepet, akhirnya aku minta ibu membungkuskan nasi kuning yang masih tersisa setengah. Kamu gandeng tanganku, lalu kita menyeberang jalan bersama-sama, di tengah kerumunan para pesepeda.
Sesampai di mobil travel, aku membuka kembali bungkus nasi kuning, meneruskan makan pagi yang terinterupsi. Kamu, duduk di sebelahku, melihat ke jendela.
Aku, menengok ke arahmu, dan hatiku menghangat. Kamu terbaik.
I miss you. Nanti kita makan nasi kuning lagi di Bandung ya.