Drrtt…drrrtt…
Seumur-umur 10 tahun terakhir handphone-ku di-silent, tapi sekarang bergetar-getar di samping kasur. Dengan setengah nyawa, aku lihat masih jam 10 pagi, padahal aku baru tidur jam 6 pagi.
Aku angkat telponnya. Di seberang sana, ada suara Arthur, Student Support yang jadi “pengasuh” buat semua New Zealand Scholars.
“Hi Falen, I have a very important news for you…”
Dudukku langsung tegak layaknya keadilan. Kantuk hilang kayak habis disiram air dingin. “Yeah, Arthur. What is it?”
“The last flight from Auckland to Indonesia will be leaving today. At 2 PM.”
JEDERRR!! Kalian tahu nggak sih adegan di sinetron yang muka aktornya di-zoom, dengan tampang serba cemas, dan sound effect yang menggelegar.
Tiba-tiba aku merasa dingin. Agak lemas. 100% pasrah.
One Day Before
Sehari sebelum ini semua terjadi, aku lagi galau yang segalau-galaunya. Seminggu terakhir di akhir Maret, aku nggak konsen mau belajar atau sekedar baca materi kuliah. Gimana nggak? Angka covid-19 naik terus, nggak di Auckland, nggak di Indonesia. Tiap hari buka Twitter & Reddit, isinya adalah orang-orang yang kebingungan. Pemerintah bingung, ilmuwan bingung, masyarakat awam kayak aku apa lagi.
What I knew for sure is this: I don’t want to study in such environment. Ketika salah satu pandemi terbesar lagi menyerang, I just can’t force myself to study something that feels so irrelevant. Di saat-saat yang penuh kegalauan, aku cuma ingin pulang ke rumah, memastikan keluarga baik-baik saja, dan menghadapi ini semua bersama mereka. Otakku nggak bisa diajak berkompromi. Hal-hal seperti gelar S2 atau ilmu statistik untuk kebijakan publik terasa sangat jauh – prioritas yang kesekian.

Lalu, email itu tiba. Email dari Kementerian Luar Negeri Selandia Baru – pemberi beasiswaku. Mereka bilang, jika kita punya personal/family concern, kita diperbolehkan untuk pulang dan menunda studi sampai tahun depan. Begitu aku membaca email itu, rasanya ada beban berat yang terangkat. Aku lalu telpon banyak banget orang dan minta masukan dari mereka. Karena aku tahu, pemikiran kita kadang suka nggak objektif, jadi kita perlu pertimbangan objektif dari pengamat luar. Hehe.
Setelah membulatkan tekad, aku langsung kirim email ke Arthur. Aku bilang, aku mau menunda studi dulu, fokus pada hal-hal yang lebih penting untuk sementara waktu. Di saat-saat seperti ini, aku hanya ingin pulang. Aku tekankan juga, aku nggak peduli rute pesawatnya apa, kalau harus beli sendiri pun nggak apa-apa, asal aku masih bisa balik.
Kembali ke Kamar Unilodge
Itulah ceritanya sampai Arthur akhirnya telepon. TAPI ARTHUR, PESAWATNYA JAM 2 DAN KAMU TELPON AKU JAM 10 PAGI? Shock berat!! Tapi aku tahu, aku ini orangnya suka panik2 sendiri. Dan kalau panik, pasti logikanya susah jalan. Maka, aku tarik napas pelan-pelan, dan mulai putar otak. Oke, apa aja yang harus aku kerjain? Aku mandi, aku harus packing barang-barang yang penting. Obviously, aku nggak punya waktu lagi buat cuci piring habis kemarin malem masak. Untung banget malem sebelumnya aku habis laundry, jadi semua bajuku lagi dalam keadaan bersih.
Aku buru-buru telepon ke kantor fakultas. Aku bilang kalau aku harus nunda studi dan ngejar pesawat. Dengan sangat helpful, ketua fakultas bilang, “Don’t worry about that. Just hop onto the plane before it’s too late.”
Oke, satu masalah udah selesai. Masalah berikutnya, packing dalam waktu SETENGAH JAM! Ya ampun, baru sebulan lalu unpacking bagasi seberat 40 kilo dari Indonesia, eh ternyata sekarang harus dibawa pulang lagi. Untungnya, ada 1 pak baju-baju yang belum aku unpack sama sekali. Ternyata, jadi orang males kadang-kadang ada hikmahnya. Aku cuma masukin baju-baju penting ke dalam koper. Baju-baju yang susah buat dicari lagi, bukan kayak kaos, celana pendek, gitu2.
Setelah baju kelar, aku packing semua dokumen penting, dari ijazah sampe paspor. Terus nggak lupa juga alat-alat elektronik kayak catokan, hard disk, dll. Baru tiga hal itu aja, koperku yang ukurannya paling jumbo di pasaran udah penuh. Karena takut overweight, aku udah nggak mau nambahin apa-apa lagi.

Hal penting berikutnya: gimana caranya cari taksi di Auckland? Selama sebulan di sana aku nggak pernah cari taksi. Aku telpon hampir semua perusahaan taksi di sana, dan mereka nggak ada yang punya armada. FYI, saat itu NZ udah memberlakukan alert level 3, jadi mobilitas orang udah terbatas banget. Terus aku buru-buru install Uber (ciye mantan klien), buru-buru daftarin kartu kredit dan sebagainya, sampe hampir nangis karena takut ketinggalan pesawat. Untungnya, ada 1 orang yang mau.
Aku buru-buru minta bantuan resepsionis untuk menggeret koper yang beratnya amit-amit ini. Soalnya gedungku letaknya di bawah, dan ada kali 3 tingkat tangga yang harus dilewati sebelum keluar. Buset coy, nggak kuat.
Untungnya aku kenal baik sama resepsionisnya, jadi dia mau bantuin ngangkat ke atas huhuhu. Aku buru-buru jelasin kalau aku harus pulang, pesawatnya cuma ada pesawat Emirates terakhir ke Indonesia. Kalau nggak, aku bakal terjebak di NZ sampe nggak tahu kapan, karena udah nggak bisa transit Singapore & Australia lagi waktu itu.
Uber Thoughts
Waktu akhirnya masuk dan duduk di mobil Uber. Oh wow, you can’t describe the feeling. At this point, aku udah nggak bisa apa-apa. Jam tanganku menunjukkan angka 11, sementara aku harus check in di bandara maksimal jam 12 siang. Apalagi penerbangan internasional bakal lebih berlapis prosesnya.

But I caught my breath. Pusing, gugup, jariku masih kelu waktu pegang handphone. Aku langsung kabari ke keluarga, “I’m flying today!”
Terus ketua fakultasku minta aku untuk mengajukan penundaan studi sebelum aku terbang. Sialan! Baterai laptopku udah ngos-ngosan gara-gara dipake binge-watch Netflix kemaren malem.
Aku buru-buru aktifin mode battery saver di Jaime Lannister, nyalain tethering, dan buru-buru buka portal mahasiswa. Iya, aku kasih nama laptopku berdasarkan karakter Game of Thrones yang bucin dan tolol. In my defense, ketika beli laptop, Jaime karakternya udah grow up dan jadi gentleman. Cuma plot twist aja season terakhir dia kembali jadi bucin. Nanti kapan-kapan aku pertimbangkan buat ganti nama lain. Huh.
Begitu semuanya udah selesai. Aku menarik napas yang sangaat panjang. Lalu aku ceritain semuanya ke pengemudi Uber ini yang baik banget. Dan tahu nggak, dia semangatin aku terus dan bikin aku ngerasa udah membuat keputusan yang tepat. Dia bilang, “Just go home now. In times like these, it’s best to be surrounded by those who you love and love you. Your master degree can wait, but your family can’t.”
Siapa yang naruh bawang di mobil Uber? Aku meneteskan air mata. Gabungan antara sedih, lega, terharu.
Aku menengok pemandangan kanan kiri. Auckland cantik. Dan aku bahkan belum punya waktu untuk menjelajah lebih jauh. Baru seminggu lalu aku beli peta New Zealand, riset-riset tentang apa aja yang bisa dikunjungi, makanan yang harus aku coba, dan bahkan udah bikin bucket list khusus untuk New Zealand. Man can only dream, ain’t it?
New Zealand Poster di kamar View sebelum tidur
Hey NZ, I wanna confess something. I’ve only been staying for over a month here, and yet, I feel like I have been more welcomed here than 25 years I’ve spent in my country. Everywhere I go, I meet lots of kind people, who genuinely care about me and want to make a lasting bond. Your society is one-of-a-kind. I’ve never seen such a close tight-knit community. I can only hope to be a small part of it someday.
Back in the day, I always dreamed about living in the UK. But when I got the Chevening scholarship, somehow I turned it down. I thought, I just made either the most stupid or the smartest decision in my life.
And here I am, in New Zealand instead. From the bottom of my heart, I can finally say, I’ve made the right decision. I’m glad that I trusted my gut and went through with it, even though everyone said I was an idiot. But aren’t we all idiots at some point of our lives?
I’m sure, NZ is where I belong.
And I’ll be back again, soon.
When this is all over.
Okay?