[vc_row css_animation=”” row_type=”row” use_row_as_full_screen_section=”no” type=”full_width” angled_section=”no” text_align=”left” background_image_as_pattern=”without_pattern”][vc_column][vc_column_text]
“Saatnya jadi manusia gua!”
Adalah hal yang selalu aku ucapkan ke orang lain ketika aku akan menghilang dari peradaban dan fokus bekerja. Biasanya, aku akan mengurung diri di kosan dan buka laptop sampai jam enam pagi. Atau aku nongkrong di kafe berjam-jam (seperti yang sedang aku lakukan sekarang). Atau yang lebih ekstrem lagi, nginep di hostel biar bisa menuntaskan semua pekerjaan. Seminimal mungkin, aku akan mencoba untuk nggak buka hape sama sekali.
“Menjadi manusia gua” adalah istilah yang aku pakai untuk mengkondisikan diri dan otak biar siap untuk produktif tanpa interupsi. Manusia gua itu kan rajin-rajin ya, rajin bekerja, rajin bercocok tanam, nggak tidur siang terus, nggak nonton Netflix, dan yang terpenting, nggak buka hape dan scroll medsos tiap 10 menit sekali. “Menjadi manusia gua” adalah caraku untuk meniru mereka, biar bisa produktif kerja dan nggak ke-distract atau procrastinating terus.
[/vc_column_text][vc_empty_space height=”22px”][vc_column_text]
It’s Attention Management, not Time Management
Mungkin kalian bertanya-tanya, “Kalau cuman mau kerja doang, ngapain sih harus sampe ekstrem kayak gitu? Tinggal kerjain aja.”
Sebenernya pemikiran itu bener buat beberapa tipe pekerjaan. Misalnya, kalau lagi ngedit tulisan, itu kan nggak terlalu menguras otak, jadi biasanya di kos pun bisa. Tapi, ada kasus-kasus tertentu dimana aku harus duduk seharian dan menuntaskan sebuah pekerjaan. Aku adalah tipe orang yang nggak bisa memutus sebuah tulisan. Jadi misalnya nih, aku udah nulis draft di hari kemarin, lalu aku lanjutkan lagi hari ini, itu nggak bisa. Nggak tau kenapa, nggak klop aja rasanya.
Aku harus literally duduk dan memfokuskan semua jiwa dan raga untuk menyelesaikan sebuah tulisan dalam one sitting. Nggak boleh putus. Kalaupun harus begadang, nggak masalah. Yang penting train of thought-nya nggak terinterupsi.
Berdasarkan artikel yang bagus banget dari New York Times (you can read it here), we’ve been planning our days wrong. Dari SD sampe kuliah, kita selalu diajarin tentang manajemen waktu. Kita harus mengalokasikan waktu setiap hari untuk berbagai aktivitas, misalnya dari jam 9-16.00 kita kerja di kantor, terus 17.00-19.00 untuk makan siang dan quality time sama keluarga. Yang nggak kita sadari adalah, dalam kurun waktu beberapa jam itu, perhatian kita terus menerus beralih ke hal-hal lain, entah itu ke medsos, ngurusin kerjaan yang belum selesai, deadline, gosip, dll.
Maka, time management is no longer effective. It’s time to shift into attention management.
[/vc_column_text][vc_empty_space height=”22px”][vc_column_text]
How to Manage Your Attention?
Attention management is about prioritizing the people and projects that matter, and it won’t matter how long anything takes. It is the art of focusing on getting things done for the right reasons, in the right places and at the right moments. – Adam Grant
Setiap manusia itu punya cara kerja yang berbeda-beda. Apalah kita ini, cuma segumpal daging dengan syaraf dan otak – nggak jauh beda sama sapi dan kambing. Jadi, yang bisa kita lakukan adalah: mendengarkan otak kita, melakukan apa yang dia mau.
Misalnya aja, setelah kurang lebih 20 tahun sekolah dan kuliah, yang aku tahu dari otakku adalah: dia paling suka kerja malem-malem menjelang subuh. Dari jam 8 malem sampai 4 pagi, itu waktu kerja ideal buatku – dimana semua ide-ide moncer akhirnya keluar, tangan mau mengetik, otak mau berpikir. Karena itu, aku meletakkan semua tugas-tugas penting yang brain-consuming di jam-jam ini, entah itu riset, mind-mapping, bikin proposal, menulis artikel panjang, atau beresin dokumen kantor.
Lalu, di jam-jam lain ngapain? Ya kayak gini, mengerjakan hal-hal yang nggak butuh prosesor otak maksimal – kayak nulis blog, nge-tweet, makan, nonton Netflix, ngedit artikel, nyari ide-ide baru buat job tulisan, atau balesin semua whatsapp orang-orang. Semua ini hanyalah distraksi sembari mempersiapkan Baginda Yang Mulia Otaknya Falen untuk siap bekerja. MUA HA HA HA.
[/vc_column_text][vc_empty_space height=”22px”][vc_column_text]
Pentingnya Menjadi Manusia Gua
Produktivitas yang hakiki cuma bisa tercapai kalau kita bisa bekerja dengan fokus dan tanpa interupsi. Kalau kalian kerja di rumah, pasti deh (pasti) bakal ter-distract sama hal-hal nggak penting. Baru kerja 30 menit, terus pingin rebahan. Lagi enak-enak ngetik, eeh ada tamu dateng. Adaaa aja distraksinya. Makanya, adalah hal yang penting untuk meluangkan waktu dan bersama-sama (mari) kita jadi manusia gua!
1. Perhatikan Waktu Kerja Ideal
Apakah kalian tipe morning person yang bangun tidur bisa langsung masuk kantor dan kerja dengan produktif? If you are, then I hate you guys. Atau mungkin kalian tipe yang suka begadang juga malem-malem? Yang pasti, coba kenali diri dan perhatikan kapan kalian merasa paling kreatif atau paling lancar bekerja. Semua orang pasti beda-beda. Nah, kalau sudah, usahakan untuk mengalokasikan waktu ini untuk kerjaan-kerjaan yang membutuhkan prosesor otak ekstra.
2. Persiapan Sebelum Jadi Manusia Gua
Okay, anggaplah kita berencana untuk bikin proposal bisnis di jam produktif nanti (jam 8-4 pagi). Sekarang, sembari menunggu otak kita siap, mending kita melakukan riset kecil-kecilan dulu. Kumpulin bahan-bahan yang kira-kira bakal berguna untuk pembuatan proposal, bookmark semua artikel yang bisa jadi sumber tulisan, cari dulu foto-fotonya. Jadi, ketika kita lagi fokus ngerjain proposal, kita bener-bener fokus menuangkan pikiran tanpa ribet nyari foto, sumber, dsb.
Lalu, jangan lupa untuk: bawa jaket, charge hape dan laptop (biar kalau nggak dapet colokan gak gigit jari), siapin semua buku, alat tulis, atau apapun yang perlu kalian bawa.
3. Ciptakan Sendiri Gua Versi Kalian
Gua versi Falen adalah: cafe yang sepi, ada colokan, WiFi, bisa peopl-watching, dan paling tidak buka sampe jam 11 malem. Kenapa? Ya karena kalau tutup jam 10, berarti cuma ada waktu kerja yang terbatas banget. Aku nggak pernah suka coffee shop nge-hits yang mejanya cilik kayak di TK. Apaan sih, ini mau naruh laptop aja kagak bisa, nyet.
Terus, letak kamar mandi juga penting ketika menentukan “gua”. Kalau aku kerja di Starbucks di mall sendirian, tapi kamar mandinya harus naik eskalator dulu, itu bakal nggak nyaman banget untuk nongkrong berlama-lama. Jadi, lebih baik milih kafe stand-alone yang pasti punya kamar mandi sendiri.
Coba deh kalian inget-inget, kalian paling suka kerja dimana? Ada yang sukanya kerja di Starbucks (Y THO), di perpustakaan nasional, di kedai kopi, di Mekdi dan Ke-epci, di Warmindo mungkin?
[/vc_column_text][vc_column_text]
Yak begitulah, tips dan trik menjadi manusia gua demi kemanusiaan yang lebih produktif tanpa interupsi. Karena sekarang udah mau jam 8 malem, saatnya pamit karena Baginda Yang Mulia Otak Falen rasa-rasanya udah siap bekerja semalam suntuk.
Ciao bella! Kapan-kapan aku kasih rekomendasi cafe di Jakarta yang enak buat menjadi manusia gua, ya!
[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]