Aku punya kebiasaan aneh. Aku hanya bisa menulis ketika sedang sendirian. Terpaku termangu-mangu. Seperti sekarang, ketika suara jangkrik dari rumah seberang terdengar. Aku sedang duduk menikmati sepoi-sepoi angin di balkon. Untuk sesaat, rasanya adem – sangat kontras dengan gerahnya matahari siang yang bikin mandi keringat setiap hari.
Aku sampai bertanya-tanya, sejak kapan Malang jadi panas seperti ini? Naudjubillah. Rasanya pingin bawa AC sendiri di atas kepala.
Sudah lama tidak menuliskan surat untuk semesta. Dua bulan sudah berlalu. Dua bulan yang benar-benar bajingan. Penuh dengan kecemasan, tangis tersembunyi di malam hari, kepanikan, rencana yang tiba-tiba, perjalanan panjang. Hingga aku sampai di titik ini.
Iya, aku sedang mengambil gap year.
Selama kira-kira 10 bulan ke depan, aku akan menetap di rumah. Di kamar masa kecil, yang sudah penuh dengan kenangan dan memori yang tak banyak dipugar. Aku tersenyum-senyum sendiri melihat tulisan di buku diari yang sekarang sudah mencapai edisi ke-8. Isinya coretan, makian, cerita cinta remaja, sampai drama di sekolahan. Dalam hati, aku sedikit terperangah. Begitu cepatkah waktu berlalu?
Setelah ini aku akan merayakan umur ke-26. Holy shit! Sudah seperempat abad. Kalau orang-orang bilang, saat-saat rawan untuk mengalami krisis seperempat kehidupan. Siapa sangka aku akan menyambut umur baru di tengah gelombang pandemi yang sedang mengamuk di sana sini? Aku tidak pernah berharap banyak pada saat ulang tahun. Buatku, kue atau hadiah juga tidak penting-penting amat – selain dari orang-orang tersayang yang selalu tahu cara menyatakan cinta dengan barang-barang tersederhana.
Tapi sekarang aku di sini. Dan ini adalah 1 periode dalam hidup dimana aku benar-benar tidak punya kewajiban untuk melakukan apa pun. Sama sekali. Nada.
Ini bukan libur sekolah, bukan masa penantian sebelum kuliah dimulai. Ini juga bukan liburan hari raya, bukan masa rehat sebelum kerja rodi kembali. Setidaknya selama 10 bulan ke depan, aku tidak perlu melakukan apa-apa. Tidur tanpa menyetel alarm, pakai piyama seharian, nonton sampai jam berapa pun, menulis tentang apa pun, makan tanpa peduli jam.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku tidak terburu-buru. Aku punya waktu untuk merasakan serat jagung ketika mengunyah perkedel masakan sendiri. Aku punya waktu untuk membaca lembar demi lembar buku yang sudah lama kubeli tapi belum kubuka. Aku punya waktu untuk mengeluarkan keyboard yang telah 15 tahun teronggok tanpa pernah disentuh. Aku punya waktu untuk mendekorasi kamar, memberi makan burung, ngobrol ngalor ngidul dengan orang tua.
Yang paling aku suka, kini aku punya waktu untuk bertukar pesan dengan siapa saja. Tidak terputus karena ada meeting, jadwal tidur, atau karena kesibukan masing-masing. Percakapan menjadi lebih dalam, obrolan lebih asyik, dan kita punya waktu untuk saling mengenal satu sama lain – dengan lebih baik.
Semesta, virus ini bajingan, tapi kamu tidak.
Thank you for giving me, the gift of time.