Hai Bandung, Kamu selalu cantik, secantik hari pertama aku melihatmu
Masih ingat?
Saat itu hari cerah, di bulan April.
Dan untuk pertama kalinya, aku menjejakkan kaki di Cipaganti
Sebuah jalan yang membekas di pikiran
Rimbunnya, dinginnya, dan gemerisik angin yang membuai.
Kamu seperti sudah merayuku sejak detik pertama aku tiba.
Dan semudah itu, aku jatuh hati.
Hei cantik, aku belum pernah menemukan sesuatu sepertimu.
Lalu universa mendengar doaku.
Hingga aku bisa kembali ke Bumi Parahyangan, kali ini untuk menimba ilmu.
Seperti pasangan dimabuk asmara, kau dan aku.
Memahami seluk belukmu, mengenal lebih dalam, tertawa lebih bebas.
Denganmu, aku bisa menjadi diriku sendiri. Dengan sandal kumal dan jins belel yang sudah terlalu lama tidak dicuci.
Muka polos dengan kulit kering tanpa sentuhan make up sama sekali.
Makan di pinggir jalan ditemani obrolan Sunda dari ibu penjaga warung.
Bangun di tengah malam buta untuk sekadar menikmati sesendok kuah bakso.
Kehujanan menanti angkot, memaki-maki jalanan satu arah yang membuat macet.
Terlelap berjam-jam dimanjakan alunan hujan rintik di kaca jendela.
Bagaimana bisa aku tak jatuh cinta?
Hai Bandung,
Walau fisikku berganti ke ibukota yang jahanam dan menyebalkan,
Ketahuilah aku tak pernah berpindah hati.
Kamu,
Dan angin sore,
Dan teh tawar hangat,
Dan sebuah buku kekuningan,
Kamu sempurna di mataku.
Aku akan kembali, ya?
Suatu saat nanti, kita berbulan madu lagi.
Aku janji.