Barangkali jaman yang sedang berubah, atau salahkan pada berbagai buku yang aku baca, tapi aku punya satu mimpi besar: keliling dunia. Iya, aku tahu kedengarannya klise, seperti mimpi ratusan juta orang lainnya. Tapi aku benar-benar ingin, menembus batas negara dan berkelana sendirian.
Aku ketagihan menghirup hawa bandara yang penuh dengan freon pendingin udara. Tergila-gila menumpaki berbagai jenis roller coaster dari berbagai taman rekreasi. Semakin curam, semakin tinggi, semakin terobsesi untuk menaikinya. Walau punya segudang batasan makanan (alergi pada seafood dan benci keju), tapi aku tidak sabar mengecap cita rasa di negara-negara baru.
Tidak peduli seberapa sibuknya pekerjaan di kantor, aku selalu menyisihkan uang untuk melarikan diri. Aku rela bekerja di dua sampai tiga tempat berbeda, agar aku punya uang lebih untuk escape ke tempat baru. Ada rasa ‘gatal’ di hati ketika harus terjebak di kos lebih dari beberapa bulan.
Lalu, seiring dengan kabar buruk yang baru aku dapat (gagal mendapatkan beasiswa), tekad pun semakin mantap. I really need to get away. Dan karena keterbatasan biaya satu dan lain hal, akhirnya aku memilih untuk jalan-jalan ke Kuala Lumpur. Bukan cuma karena murah, praktis, dan aman, tapi juga karena harga tiketnya yang tidak mencekik dompet.
Pencarian Roti Canai dan Semangkuk Kari
Dulu, semasa kecil, aku pernah menginjakkan kaki di KL. Ayahku memakan roti canai dan semangkuk kari dengan nikmat. Aku – yang masih ingusan – ikut mencoba. Semenjak itu, aku ketagihan mencelupkan roti canai yang lembek gurih ke dalam semangkuk kari kental. Memakannya pakai tangan malah menambah kenikmatan.
Sayang, sulit menemukan roti canai dan kari di Indonesia tanpa banderol harga selangit. Hal terdekat yang bisa aku temukan, adalah martabak telor kari di warung mie aceh.
Jadi, aku berjalan-jalan di Kuala Lumpur, membayangkan setangkup roti hangat dan mangkuk kari berminyak. Lalu, segelas es teh tarik dingin dengan bulir-bulir air yang masih meleleh. Aku duduk di bangku plastik, meja yang hanya sebesar papan catur, dalam riuhnya rumah makan India. Ah, rasanya seperti sedang menjadi Anthony Bourdain!
Ngomong-ngomong soal Anthony, dia salah satu traveler idolaku. Kenapa ya, mungkin karena dia tidak pernah banyak omong kosong. Mungkin karena, di era Instagram yang penuh dengan traveler pretensius, dia menjadi angin segar yang menunjukkan wisata autentik. Anthony menembus beceknya pasar, makan di warung hingga banjir keringat, sampai bercakap dengan warga lokal. Bukan pamer foto-foto dengan editan Lightroom, semata-mata demi berjualan preset.
Semenjak mengenal konsep slow traveling, aku mulai paham kenapa sebaiknya kita tidak menetapkan target tertentu ketika berlibur. Selama ini, setiap mengunjungi kota baru, aku selalu membuat daftar panjang tentang hal-hal yang harus aku lakukan, makanan yang harus dicoba, dan tempat-tempat yang harus dikunjungi. Lalu, aku membuat jadwal penuh untuk pergi kesana-kemari, memasukkan 10 destinasi dalam liburan berdurasi 3 hari. Lalu, ketika ada hal-hal tidak terduga, seperti cuaca yang tidak mendukung atau kemacetan yang membuat muak, akhirnya aku stres sendiri karena tidak bisa memenuhi jadwal itu.
Tidak masuk akal *geleng-geleng*. After all, we travel to have fun, right?
Aku tahu bahwa sulit meninggalkan kebiasaan lama. Tapi, aku mulai belajar untuk mengembalikan esensi berlibur sebelum Instagram diciptakan. Aku belajar menikmati setiap menit yang aku habiskan di negeri orang. Entah itu minum jus, makan di food court, atau menunggu bis. Entah itu bermain layangan di taman, mengantri jajanan, atau makan di pinggir jalan. Semuanya menyenangkan!
Aku belajar untuk tidak terobsesi untuk mengambil foto yang sempurna. Aku belajar untuk cuek pada penampilan, asalkan aku nyaman. Aku belajar menikmati setiap destinasi tanpa harus terikat pada jadwal ketat dan list yang harus dipatuhi. Aku belajar mencari spontanitas dan mengikuti mood atau kata hati. Rasanya bebas dan penuh kejutan di sana sini.
Jadi, kira-kira seperti ini itinerary yang aku susun:
Day 1: Sampai di Kuala Lumpur, jalan ke Bukit Bintang untuk cari makan malam
Day 2: Makan pagi, jalan-jalan ke Central Market, makan Chili Pan Mee, tidur siang, ke Menara Petronas, dan wisata kuliner di Jalan Alor
Day 3: Makan pagi di kedai India, jalan-jalan di Mall Platinum, lanjut ke KLCC Aquarium, makan gelato, mencoba Laksa di Limapulo (The Row), mengunjungi Gedung Sultan Abdul Samad, dan makan durian di Jalan Alor (lagi).
Ah, sungguh menyenangkan! Walau aku sempat pilek dan flu berat, tapi sweet escape ini berhasil membuatku semangat lagi. Terima kasih, Kuala Lumpur! You’ve been a good neighbor.