[vc_row css_animation=”” row_type=”row” use_row_as_full_screen_section=”no” type=”full_width” angled_section=”no” text_align=”left” background_image_as_pattern=”without_pattern”][vc_column][vc_column_text]
Woi bangkek, balikin staples ke meja.
Lu udah selesai bikin key message-nya belum?
Santai aja, jangan ngegas.
Emang nih si bgst.
Jajan sore yukkk…
Jir, sumpah si klien ngomong gitu?
Beberapa dari celetukan yang aku dengar di rumah kecil bernama kantor Fleishman.
Awalnya, aku mau menulis sebuah eulogi untuknya – tepat tiga tahun setelah aku berkantor di sini. Nanti, di bulan Juli.
Tapi, GM yang mengundurkan diri, sahabat yang pergi, dan berada sendirian di kantor jam sebelas malam – mau tidak mau, melankoli itu tiba.
Selalu ada rasa sedih setiap kali membayangkan aku tidak akan pernah memasuki kantor ini lagi. Tidak berjingkat-jingkat di jam sepuluh lewat karena (lagi-lagi) telat bangun dengan rambut yang awut-awutan. Tidak cekikikan di meja makan sambil bicara ingus dan gosip-gosip per-Twitter-an. Tidak heboh bicara berapi-api mengurutkan episode Black Mirror terbaik hingga yang ter-jahanam. Tidak tidur siang atau memakai sandal jepit belel hasil pinjaman ke office boy kantor.
Kantor ini sudah menjadi rumah. Rumah yang nyaman dan hangat. Rumah yang tak kenal usia, jabatan, maupun agama. Di balik lusinan orang yang datang dan pergi, aku masih tinggal. Setelah belajar selama tiga tahun terakhir, kini jabatan baru menuntut untuk lebih banyak berbagi dan mendelegasi. Hey, kamu bukan kerja sendiri.
Kantor ini adalah sebenar-benarnya aku menjadi diri sendiri. Tak perlu jaga imej, tak perlu sungkan, tak perlu malu. Mungkin salah satu hal yang membuatku cinta mati adalah karena budaya perusahaan yang sungguh egaliter. Aku bisa membantah dan berdebat dengan Presiden Direktur dengan rasional. No hard feeling. Aku dibebaskan untuk memberikan ide dan berkreasi, dipercaya penuh tanpa perlu sedikit-sedikit lapor sana-sini. Kebiasaan itu mungkin yang membuat aku mengernyit setiap kali mendengar cerita bos-bos kolot yang suka perintah dan tidak mau mendengar pendapat karyawan. Konsep yang asing buatku karena aku belum pernah mengalaminya. Syukurlah, ternyata aku tak salah pilih tempat kerja.
[/vc_column_text][vc_empty_space height=”22px”][vc_column_text]
Apa Berikutnya?
Aku menulis ini sambil melihat pintu kulkas yang penuh dengan foto-foto Instax. Memori christmas party, acara klien, hasil berkelana di Kota Kasablanka ketika gabut melanda. Aku menulis ini sambil melihat tumpukan barang di meja kerja yang mirip kapal pecah. Memang, di kos, di rumah, di SMA, bahkan di kantor, mejaku selalu jadi yang paling berantakan. Kalau mau tahu, sejauh mata memandang, di sini ada vitamin C, post-it bertebaran, boneka, DVD Big Little Lies, manisan, sarden, sampai ijazah kuliah yang harus dibawa pulang tapi selalu lupa. Di sini tertempetl post-it warna-warni pengingat PR Value, Time Entry, sampai password dan login ke berbagai akun yang dikelola bersama klien.
Rasanya nyaman. Nyaman dan familiar. Aku ingin mengambil mental picture untuk mengingat hari ini. Detik ini.
Ada salah satu percakapan di The Office:[/vc_column_text][vc_empty_space height=”22px”]
[vc_empty_space height=”22px”][vc_column_text]
Aku mau mengingat hari ini dan mengabadikannya lewat kata-kata. Ya, ya, semua orang bilang picture worth’s a thousand words. Tapi percayalah, tak semua hal dan tak semua rasa bisa dituangkan lewat gambar sahaja.
Aku mau mengingat teman-teman kocak yang paling aku sayang di kantor. Salah satu alasan kenapa aku betah lembur dan kerja saat weekend, adalah karena rasanya seperti kembali ke SMA/kampus dan bekerja bersama sahabat-sahabat untuk membuat acara. Brainstorming meeting yang penuh celetukan jayus dan saling ejek yang terdengar jahat padahal menunjukkan rasa sayang. Yang suka ngajak makan martabak bareng, yang suka menirukan gaya bicaraku yang medok dan terlalu bersemangat, yang menyemangati ketika sedang sedih, yang meledek ketika aku terlalu banyak cuti, yang asyik diajak berlibur dari Bali sampai Toraja. Yang ikut kejuaraan ping pong walau tak jadi pemenang. Yang semangat diajak berkuliner tiap hari Jumat tiba.
[/vc_column_text][vc_empty_space height=”10px”][vc_gallery interval=”3″ images=”1608,1605,1416,1415″ img_size=”large”][vc_column_text]
Suatu hari nanti, entah minggu depan, bulan depan, atau tahun depan, teman-teman ini juga akan pergi. Atau mungkin, aku yang pergi duluan. Ketika saat itu tiba, aku mau mengenangnya dengan tawa. Aku mau melihat ke belakang dan berterima kasih pada diriku yang sekarang karena telah menuliskan eulogi yang bisa dibaca berulang kali. Hey FleishmanHillard, thank you for enabling me to meet with these people.
[/vc_column_text][vc_empty_space height=”22px”][vc_column_text]
The End of An Era
FleishmanHillard baru ditinggal oleh sang nahkoda – setelah lebih dari 9 tahun. Ibu Louisa Tuhatu, sosok perempuan yang – aku bermimpi, semoga suatu hari aku bisa jadi sepertinya. Tegas, cerdas, bebas. Ia yang terbaik dan penuh rasa sayang.
Besok, ada GM baru yang akan datang.
Apapun yang terjadi di masa depan, aku mau mengingat FleishmanHillard seperti yang sekarang.
Hari ini.
Detik ini.
Jakarta, 28 June 2019
FN
[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]